Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

iklan

Iklan

Indeks Berita

Kemendagri Diminta Batalkan Calon Pejabat ASN Keluarga di Pemkab Tangerang!

Selasa, 08 Juli 2025 | 21:59 WIB Last Updated 2025-07-08T14:59:15Z

 


Editor : Tri Wahyudi, RealitaNews.co.id_
‎Selasa, 8 Juli 2025.


Tangerang (08/07/2025).Praktik pengelolaan jabatan aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tangerang tengah menjadi perhatian publik. Sejumlah nama pejabat yang saat ini menduduki posisi strategis disebut-sebut memiliki hubungan keluarga dalam satu unit kerja maupun dengan pejabat tinggi daerah, yang memicu kekhawatiran akan potensi nepotisme dan konflik kepentingan dalam proses mutasi dan promosi jabatan.


Sejumlah nama pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tangerang menjadi sorotan tajam masyarakat karena diduga memiliki hubungan kekeluargaan dalam satu unit kerja maupun langsung dengan pejabat tinggi daerah, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam proses mutasi, rotasi, dan promosi jabatan ASN. 


Salah satu nama yang disebut adalah Dadang Suhendar, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan, dan diketahui merupakan paman dari saudari Eva, pejabat yang menduduki posisi Kepala Subbidang Penagihan di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Hubungan ini menimbulkan kekhawatiran atas objektivitas pengelolaan jabatan dalam satuan kerja yang berkaitan dengan pengelolaan pajak dan retribusi daerah.


Selanjutnya, terdapat nama Diki, yang menjabat sebagai Kepala Tata Usaha UPT 5 Kelapa Dua, dan diketahui secara publik sebagai adik ipar dari Bupati Kabupaten Tangerang. Posisi strategis yang ia tempati dalam struktur pemerintahan lokal menuai tanda tanya besar dari publik, terutama dalam konteks netralitas ASN dan potensi penyalahgunaan pengaruh kekuasaan.


Nama lain yang menjadi perhatian adalah Farhan, seorang Kepala Bidang di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), yang disebut sebagai adik kandung dari Sekretaris Daerah (Sekda). Mengingat pentingnya Bappeda dalam menyusun arah kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah, relasi ini dikhawatirkan mengganggu independensi, objektivitas, serta profesionalisme birokrasi, yang seharusnya dibangun atas dasar keahlian teknokratik, bukan relasi kekuasaan.


Yang paling mencolok adalah nama Farly, yang saat ini menjabat sebagai Lurah Cisauk, dan diketahui merupakan anak kandung dari Bupati Kabupaten Tangerang. Penempatan keluarga inti kepala daerah pada posisi struktural di level kelurahan menunjukkan indikasi kuat terjadinya dinasti birokrasi, sebuah praktik yang bertentangan secara langsung dengan prinsip sistem merit dalam pengelolaan ASN, sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.


Meski keberadaan nama-nama tersebut dalam daftar usulan rotasi belum dapat dipastikan, Namun publik menuntut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk tidak menunggu skandal pecah, melainkan segera bertindak berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudential principle), asas netralitas, dan tata kelola pemerintahan yang baik.


Penolakan terhadap pengangkatan pejabat yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan bukan hanya sah secara hukum, tetapi juga wajib secara etika dan politik. Dalam sistem demokrasi, birokrasi bukanlah alat pelanggeng kekuasaan keluarga—melainkan instrumen pelayanan publik yang bersih, profesional, dan berpihak pada kepentingan rakyat.


Firdaus Tusnin, S.Sos., M.A.P, seorang pengamat kebijakan publik dan administrasi negara, menyampaikan bahwa masyarakat kini menggantungkan harapan besar pada ketegasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam menjaga profesionalisme birokrasi. Menurutnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa ada sejumlah nama yang tengah disorot publik karena memiliki hubungan keluarga satu unit kerja maupun langsung dengan pejabat tinggi lain di Pemkab Tangerang. Dalam situasi seperti ini, katanya, Kemendagri tidak cukup hanya menjadi regulator prosedur, tapi harus tampil sebagai penjaga etika pemerintahan daerah.


Firdaus menegaskan, nepotisme adalah bentuk pengkhianatan terhadap Undang-Undang ASN, terutama Pasal 3 dan Pasal 9 UU No. 5 Tahun 2014, yang menegaskan bahwa sistem merit dan netralitas ASN harus dijaga dari intervensi politik dan kepentingan keluarga. Ia juga mengingatkan bahwa dalam masa enam bulan setelah pelantikan kepala daerah, Kemendagri memiliki kewenangan penuh untuk menolak usulan pengangkatan pejabat yang bermasalah secara etik dan hukum.


“Ini bukan soal tidak suka pada individu, ini soal keadilan dalam karier ASN dan tanggung jawab negara menjaga birokrasi tetap bersih,” tegasnya.


Menurut Firdaus, membiarkan nama-nama yang memiliki keterkaitan darah dalam satu institusi pelayanan publik dengan tetap melenggang dalam rotasi jabatan justru akan mempercepat kerusakan moral pemerintahan. 


“kita bicara bukan birokrasi keluarga, ini institusi negara,” katanya. 


Ia khawatir, jika dibiarkan, kepercayaan ASN profesional akan runtuh, dan akan tercipta atmosfer ketakutan, diam, dan ketidakadilan dalam tubuh ASN Pemkab Tangerang.


“Lama-lama, jabatan strategis bisa diwariskan seperti warisan tanah,” tambahnya dengan nada prihatin.


Ia pun menyerukan agar Kemendagri berani menolak secara terang-terangan usulan nama-nama yang memiliki afiliasi keluarga dalam satu institusi kerja maupun keluarga pejabat daerah. Menurutnya, langkah itu tidak hanya sah menurut hukum, tapi juga perlu secara moral dan politik.


“Kalau Kemendagri tidak bertindak, artinya pusat sedang menyetujui pembusukan etika di daerah. Ini bukan soal kabupaten Tangerang saja, ini preseden nasional,” tutup Firdaus Tusnin.


Firdaus Tusnin, S.Sos., M.A.P menegaskan bahwa dalam konteks hukum administrasi kepegawaian daerah, yang menentukan sah atau tidaknya pengangkatan pejabat bukanlah Bupati, melainkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ia merujuk pada Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang menyatakan bahwa kepala daerah yang ingin melakukan mutasi atau pengangkatan pejabat dalam enam bulan sejak pelantikannya wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Artinya, meskipun bupati telah menyusun dan mengusulkan nama-nama calon pejabat, namun putusan akhir sepenuhnya berada di tangan Kemendagri, baik untuk menyetujui, menolak sebagian, atau bahkan seluruh usulan tersebut. Firdaus menekankan bahwa ketentuan ini bukan formalitas, melainkan mekanisme kontrol untuk mencegah penyimpangan, terutama jika ada indikasi kuat nepotisme atau konflik kepentingan dalam usulan tersebut. 


Dengan memperhatikan fakta bahwa sejumlah nama yang disebut seperti Dadang Suhendar, Diki, Farhan, dan Farly memiliki hubungan keluarga langsung dengan kepala daerah dan pejabat tinggi lainnya, maka sudah sepatutnya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menggunakan kewenangan hukumnya secara tegas untuk menolak seluruh usulan pengangkatan nama-nama tersebut dalam proses rotasi dan promosi jabatan ASN di Pemerintah Kabupaten Tangerang.


Permintaan penolakan ini tidak dibuat berdasarkan prasangka, melainkan berangkat dari indikasi hubungan kekeluargaan yang nyata dan dapat diverifikasi, yang secara substansial berpotensi menimbulkan konflik kepentingan administratif, mencederai prinsip netralitas ASN, dan meruntuhkan sistem merit yang menjadi dasar hukum dalam pengelolaan sumber daya aparatur sipil negara.


Jika pejabat publik dapat diangkat berdasarkan hubungan darah alih-alih kompetensi, maka yang terjadi bukanlah pelaksanaan tugas pemerintahan yang bersih, tetapi pembentukan dinasti birokrasi yang bertentangan dengan asas profesionalitas dan keadilan karier dalam ASN, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf g dan Pasal 9 UU No. 5 Tahun 2014. Dalam hal ini, Kemendagri tidak hanya memiliki kewenangan, tetapi juga tanggung jawab konstitusional untuk menolak usulan tersebut secara terbuka dan tegas.


Menolak nama-nama yang jelas memiliki hubungan keluarga satu sama lain dalam jabatan struktural bukan hanya tindakan sah menurut hukum, melainkan langkah nyata menjaga kredibilitas birokrasi dari pembusukan institusional. Penolakan ini harus dijadikan komitmen bersama agar aparatur sipil negara tetap menjadi alat negara, bukan alat keluarga.   Narasumber ASMUDYANTO  LSM BIMPAR INDONESIA



(Red)