![]() |
Foto : Ahmad Suhud, Direktur Eksekutif Lembaga BP2S2N Provinsi Banten |
Rabu, 20 Agustus 2025.
KABUPATEN TANGERANG - Dengan akalnya, manusia melakukan penelitian, yang melahirkan ilmu pengetahuan atau sains. Produk sains adalah teknologi. Dengan ditemukannya teknologi, hidup manusia menjadi lebih mudah dan lebih praktis. Misalnya penelitian dan penemuan manusia dalam bidang teknologi komunikasi
Hal ini diungkapkan Ahmad Suhud selaku Direktur Eksekutif Lembaga BP2S2N Provinsi Banten. "Dulu, untuk melakukan komunikasi jarak jauh, kita menggunakan telepon dengan cara diengkol. Kemudian berkembang menjadi PSTN. Lalu berganti seluler tanpa kabel. Kini, komunikasi bukan hanya dalam bentuk audio, tetapi bisa disertai juga video. Kita sering mengenalnya dengan istilah video call (VC)
Contoh lainnya adalah perangkat untuk menulis. Dulu kita menggunakan mesin tik. Lalu ditemukan komputer Desktop, yang bila akan dioperasikan mesti menggunakan Disket. Kemudian berkembang menjadi penemuan laptop, perangkat menulis yang bisa dijinjing dan dibawa kemana saja.
Setelahnya, baru diciptakan Tablet yang bentuknya lebih praktis lagi. Kini, untuk membuat tulisan tidak seperti zaman dulu yang masih menggunakan mesin tik yang berisik kala dipakai. Cukup dengan layar sentuh, bahkan dengan rekaman suara, kita bisa membuat tulisan. Pastinya, lebih praktis," jelas Ahmad Suhud
Menurutnya, Perkembangan teknologi sangat membantu manusia. Namun kadang penemuan teknologi ini bisa juga menjadi Bumerang dan menimbulkan persoalan baru," ucapnya
Yang terbaru adalah polemik royalti lagu yang melibatkan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN. Belakangan ini kita dibuat riuh oleh perkara royalti.
Royalti adalah pembayaran yang diberikan kepada pemilik hak cipta atas penggunaan karyanya oleh pihak lain. Hak cipta ini bisa berupa musik, buku, film, paten, atau merek dagang lainnya. Yang saat ini lagi ramai adalah royalti musik.
Tentunya LMKN akan menagih pembayaran royalti pada para pelaku usaha yang menggunakan musik untuk kepentingan komersil. Dalam hal ini adalah pengusaha hotel, restoran, dan kafe,"tegas Suhud.
Coba itu baru sebuah perusahaan waralaba yang memiliki jaringan luas dikenakan denda, walau akhirnya berujung damai dengan kompensasi lebih dari 2 miliar rupiah sebab menggunakan lagu orang lain tanpa diawali dengan izin dan atau komitmen untuk bayar royalti,"paparnya
Lihat akibatnya, banyak pelaku usaha yang saat ini tidak lagi memutar lagu untuk menghindari kewajiban bayar royalti. Mereka lebih menyiasatinya dengan cara memperdengarkan suara alam, misalnya rekaman suara burung, yang belakangan ternyata dikenakan royalti juga. "Ini jadi terkesan aneh," tutur Ahmad Suhud
Jika memang perkara royalti musik ini begitu pelik. Hingga seorang hakim Mahkamah Konstitusi atau MK telah dengan jelas menyampaikan bahwa setiap musik mesti dikenakan royalti maka yang paling besar tentunya yang menerima pembayaran adalah keluarga WR. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya," tegasnya sambil nyinyir
Sebenarnya polemik royalti ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi atau zaman. Dulu, musik hanya bisa diperdengarkan lewat kaset. Kemudian berkembang dalam bentuk compac disc atau CD berupa MP3, bisa digandakan menggunakan CD writer, flash disc, dan kini bisa diunduh dalam bentuk file digital.
Waktu itu masih menggunakan kaset, royalti musik dihitung dari seberapa banyak jumlah kaset yang diproduksi. Keuntungannya dibagi dengan prosentase tertentu antara pencipta lagu, penyanyi, pengiring musik, dan perusahaan rekaman. Semakin banyak kaset terjual, semakin besar royalti yang diterima," terang Suhud
Contohnya saya masih ingat, Bila ada kaset yang tidak memiliki label resmi maka bisa dipastikan itu merupakan barang bajakan. Karenanya, baik Pemerintah maupun Stakeholders lainnya bisa dengan mudah menemukan dan melakukan penindakan atas pelaku pembajakan tersebut
Karena seiring perkembangan teknologi, kaset yang masih berupa pita yang kadang kusut itu, kini berganti dalam format file digital. Pastinya, format ini lebih mudah dan lebih leluasa untuk digandakan, yang jelas adalah bentuk pembajakan yang dahulu terlarang," tuturnya.
Sementara ketika hak cipta lagu masih dalam bentuk kaset, lebih mudah untuk dikontrol. Kini dengan teknologi digital yang memungkinkan siapa saja bisa menggandakan dan memperbanyaknya, maka perkara royalti ini sulit untuk dikendalikan,"terang Suhud .
Fenomena ini menjadi bukti bahwa perkembangan teknologi tidak serta merta menjadi berkah bagi kalangan tertentu, dalam hal ini adalah pencipta lagu dan penyanyi.
Malah bisa menjadi "Tulah". Buktinya, saja kini mereka banyak yang mengeluh karena pendapatan tidak sebesar ketika karya cipta mereka masih dalam bentuk kaset.
Sedangkan LMKN sebagai Lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengelola royalti ini, juga berada pada situasi dilematis, karena mesti berhadapan dengan pihak pencipta lagu dan penyanyi, juga berhadapan dengan para pengguna jasa. Dalam hal ini para pengusaha hotel, resto, dan kafe.
Para pencipta lagu dan penyanyi banyak yang mengeluh karena pendapatan mereka dari royalti tidak jelas skemanya. Di sisi lain, para pengguna jasa juga mempertanyakan apakah biaya royalti yang mereka bayarkan ke LMKN itu sampai atau tidak kepada mereka yang berhak menerimanya.
Ahmad Suhud mengatakan, Dalam situasi seperti ini, mesti ada aturan main yang jelas sehingga seluruh pihak dapat menerimanya. Pencipta lagu dan penyanyi mendapatkan haknya, para pengguna jasa tidak merasa keberatan dengan tarif yang dikenakan, dan masyarakat umum pun masih bisa menikmatinya tanpa harus masuk pada daftar tagihan dalam kertas "Billing" yang disodorkan oleh kasir.
Jangan karena gara - gara mesti bayar royalti, hotel, resto, dan kafe suasananya berubah seperti kuburan yang sepi tanpa musik. Atau seperti kebun binatang karena hanya memperdengarkan suara - suara hewan. Mungkin bisa jadi ini ada hikmahnya, bahwa daripada manyun dan melamun lebih baik memperbanyak Dzikir ?," pungkasnya sambil tersenyum
(Red/Yanto)