Realitanews.co.id | Aliansi Mahasiswa Tangerang (AMT) menilai bahwa keputusan Pemerintah Kabupaten Tangerang yang menyelenggarakan rapat di luar kota selama tiga hari di tengah kebijakan efisiensi anggaran merupakan bentuk inkonsistensi kebijakan yang mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan ini menunjukkan adanya jurang antara wacana efisiensi yang disampaikan kepada publik dengan praktik birokrasi yang justru sarat pemborosan.
Dari perspektif **good governance**, efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi merupakan prinsip fundamental yang seharusnya menjadi landasan setiap pengambilan kebijakan publik. Rapat di luar kota—yang secara inheren membutuhkan biaya akomodasi, transportasi, konsumsi, serta biaya tidak langsung lainnya—sulit dibenarkan secara rasional ketika tujuan rapat yang sama secara fungsional dapat dilaksanakan di dalam daerah atau melalui teknologi daring yang jauh lebih hemat biaya. Dalam konteks ini, kebijakan tersebut mencerminkan kegagalan dalam menerapkan prinsip **value for money**, yaitu optimalisasi manfaat publik dengan biaya seminimal mungkin.
Secara ekonomi politik, keputusan ini juga menunjukkan rendahnya sensitivitas pemerintah daerah terhadap kondisi fiskal dan beban sosial yang ditanggung masyarakat. Di tengah tuntutan penghematan belanja publik—yang sering kali berdampak langsung pada pengurangan program pelayanan dasar—pengeluaran untuk rapat luar kota menciptakan kesan bahwa efisiensi hanya diberlakukan pada sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, sementara elit birokrasi tetap mempertahankan pola kerja yang boros dan eksklusif.
Lebih jauh, dari sudut pandang **etika administrasi publik**, tindakan tersebut mengindikasikan adanya disonansi antara wacana dan praktik. Pemerintah sebagai aktor normatif seharusnya memberi keteladanan (exemplary leadership) dalam pengelolaan anggaran. Ketika pejabat publik justru memilih opsi yang mahal dan tidak mendesak, maka yang terbangun adalah simbol ketidakpekaan sosial dan krisis empati birokrasi terhadap realitas masyarakat yang dituntut berhemat.
Selain itu, rapat luar kota selama tiga hari juga menimbulkan pertanyaan serius terkait **urgensi dan efektivitas**. Tidak terdapat korelasi empiris yang kuat bahwa lokasi rapat di luar daerah secara otomatis meningkatkan kualitas kebijakan. Tanpa indikator kinerja yang jelas dan hasil konkret yang terukur, kegiatan semacam ini berisiko menjadi sekadar rutinitas administratif yang bersifat seremonial, bukan substantif.
Dengan demikian, rapat luar kota Pemkab Tangerang di tengah kebijakan efisiensi tidak hanya bermasalah secara administratif, tetapi juga secara normatif dan simbolik. Jika praktik semacam ini terus dipertahankan, maka narasi efisiensi anggaran akan kehilangan makna, berubah menjadi slogan kosong yang tidak tercermin dalam perilaku birokrasi. Pemerintah daerah seharusnya melakukan evaluasi kritis terhadap pola kerja semacam ini dan beralih pada model tata kelola yang lebih rasional, hemat, dan berorientasi pada kepentingan publik.(Red).
