![]() |
Nasikhun, salah satu Aktivis dan tokoh pemuda asal Desa Mekar Baru Kabupaten Tangerang |
Selasa, 14 Oktober 2025.
JAKARTA - Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural dan religius, media massa memegang peran krusial sebagai pilar keempat demokrasi, yang seharusnya tidak hanya menyampaikan informasi tetapi juga menjunjung tinggi etika jurnalistik dan sensitivitas budaya.
Namun, tayangan program Xpose pada tanggal 13 Oktober 2025, yang menampilkan sorotan narasi tentang santri dan kyai di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, telah menimbulkan gejolak emosional yang sekita langsung meluas di kalangan umat Muslim, seolah menjadi “Patah Hati” kolektif yang terkesan menyiratkan pengabaian terhadap nilai - nilai sakral keagamaan.
Hal ini diungkapkan Nasikhun salah satu Aktivis dan tokoh pemuda asal Desa Mekar Baru Kabupaten Tangerang atau yang akrab disapa," Kang Abel "
“Secara faktual, tayangan tersebut telah menggambarkan sebuah adegan santri yang “Ngesot” untuk memberikan amplop kepada Kyai Sepuh, disertai narasi yang menyiratkan bahwa hal ini menjadi penyebab Kyai semakin kaya raya," ujar Abel (14/10/2025).
Disitu juga tampak jelas mengatakan, Narasi tidak hanya simplistik tetapi juga cenderung “Reductio Ad Absurdu” mereduksi praktik budaya pesantren yang sarat dengan nilai hormat, disiplin, dan pengabdian menjadi karikatur yang jelas melecehkan,"tegasnya
Menurut Abel, Dari sudut perspektif sosiologi Agama, seperti yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of Religious Life, Institusi seperti pesantren merupakan Manifestasi dari solidaritas kolektif masyarakat berbasis kepercayaan, di mana Kyai dan santri mewakili simbol kemuliaan spiritual.
Lebih lanjut Kang Abel juga menegaskan, bahwa penghinaan terhadap elemen ini bukan sekadar kesalahan redaksional, melainkan serangan terhadap fondasi identitas umat Muslim Indonesia, yang mencakup Jutaan santri dan alumni pesantren sebagai tulang punggung moral bangsa.
“Lihat sendiri, dampak dari tayangan tersebut kini telah meluas, hingga memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk seruan boikot di berbagai media sosial dengan tagar #BoikotTrans7 yang menjadi trending," ucapnya.
Kang Abel mengaku, Hal ini telah mencerminkan sebuah Fenomena,“ Patah Hati” umat Muslim, di mana rasa sakit hati bukan hanya emosional tetapi juga struktural, mengingat pesantren telah berkontribusi signifikan dalam pembangunan karakter anak bangsa sejak era Pra- kemerdekaan.
“Studi Etnografis tentang pesantren, seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java, menunjukkan bagaimana lembaga ini menjadi pusat pembentukan nilai toleransi dan keilmuan Islam yang moderat,“ paparnya.
Oleh karena itu, menurut Kang Abel, narasi yang merendahkan Kyai Sepuh seperti KH. Anwar Manshur seorang ulama yang dihormati tidak hanya melukai individu tetapi juga mengikis rasa kepercayaan publik terhadap media sebagai agen perubahan dan edukasi.
Padahal jelas dalam kerangka etika media, prinsip - prinsip tersebut diatur dalam Undang - Undang Pers No : 40 Tahun 1999 yang menekankan tentang kewajiban jurnalis untuk menghormati keragaman budaya dan menghindari konten yang menimbulkan kebencian atau penghinaan terhadap kelompok tertentu," terang Abel
“Tayangan Trans7 tersebut tampaknya telah melanggar asas tersebut, mengingat kontennya dinilai tidak mendidik dan cenderung sensasionalisasi demi sebuah Rating,” ungkapnya
Sementara, dari sudut pandang Psikologi sosial, fenomena ini dapat dianalogikan dengan teori Labeling Howard Becker, di mana Labeling Negatif terhadap Kyai dan santri berpotensi memperkuat Stereotip yang merugikan, sehingga memperlemah Kohesi sosial di masyarakat Plural seperti Indonesia ini," tuturnya.
Oleh karena itu, Saya merasa terpanggil untuk menyuarakan keprihatinan mendalam atas Issue terkini yang melibatkan tayangan televisi di Trans7.
“Saya juga mendesak Trans7 untuk segera memberikan klarifikasi resmi yang transparan mengenai proses produksi tayangan tersebut.
# Apakah ada Verifikasi fakta sebelum penayangan ?
#Siapa yang bertanggung jawab atas narasi yang digunakan
Klarifikasi ini wajib dan bukan hanya formalitas, melainkan langkah Esensial untuk segera memulihkan kepercayaan publik,“ tutur Abel
Selain itu, Saya juga sampakan, sebagai institusi media yang berpengaruh, Trans7 harus memiliki tanggung jawab moral dan melanjutkannya dengan sebuah komitmen konkrit, seperti program edukasi tentang etika beragama atau kerjasama dengan lembaga pesantren untuk konten positif, "paparnya
“Tanggung jawab ini sejalan dengan konsep akuntabilitas media dalam teori komunikasi massa Denis McQuail, yang menegaskan bahwa media harus bertanggung jawab atas dampak sosial dari kontennya tersebut,” tandas Abel
Terakhir Kang Abel juga berharap, insiden ini harus menjadi momentum bagi seluruh pemangku kepentingan media untuk merefleksikan peran mereka dalam membangun harmoni sosial, dan siap berdialog konstruktif untuk mencegah kejadian serupa, demi terwujudnya masyarakat yang adil dan beradab.
"Mari kita jaga martabat umat dan bangsa dengan bijaksana serta santun bermedia," pungkasnya
(Red/Yanto)